Saturday, July 01, 2006 |
William in memoriam |
Untuk beberapa waktu aku masih terhenyak atas apa yang telah terjadi. Hatiku masih bergetar ketika harus mengingat dan menulisnya kembali disini, ingatanku tentang 3 hari mencekam dalam hidupku harus diputar ulang. Dan aku tau "rancanganNya yang jadi, bukanlah rancanganku".
Kehamilan keduaku memang tidak pernah kurencanakan, tapi kebahagiaan yang aku rasakan tetap sama. Puji syukur selalu terucap ketika Tuhan kembali memberiku kesempatan untuk mengandung anak kami yang kedua, seorang adek untuk buah hatiku Nathan. Kehamilan yang kedua ini tidak begitu merepotkan, semua berjalan normal tanpa ada tanda-tanda yang mencurigakan. Siapa nyana ternyata semua itu tidak menjamin bayiku baik-baik saja. Sampai bulan ke-7 kehamilan semuanya sehat. Ketika menginjak bulan ke-8, dokter mulai curiga, karena bobot babyku yang kurang dari normal. Beberapa minggu, dokterku masih sibuk memperhatikan kenaikan berat sang bayi yang tidak juga menunjukkan peningkatan berarti, sampai kemudian beliau memutuskan untuk merujukku melakukan USG kembali di RSCM, yang konon memiliki peralatan lebih canggih.
Kronologi kepergian William, putra keduaku. Selasa, 30 Mei 2006 Hari ini adalah jadwal kunjunganku ke dokter. Usia kehamilanku telah memasuki minggu ke-35/36, dokter masih konsen memperhatikan bobot bayiku yang baru 1,6kg, karena beberapa minggu yang lalu, berat bayiku masih saja kurang. Aku sangat antusias pada pemeriksaan kali ini, karena bobotku bertambah cukup banyak (3kg dalam 2 minggu), pasti berat babyku akan bertambah juga, begitu pikirku. Apalagi aku telah berusaha semaksimal mungkin, segala macam anjuran makanan berlemak telah aku konsumsi, tanpa peduli lagi dengan bentuk tubuhku yang membengkak tak terkendali. Harapanku hanya satu, anakku bisa lahir dengan sehat, dengan berat yang normal.
Betapa sedihnya ketika selesai diperiksa, ternyata berat bayiku hanya bertambah 2 gram. Dokter mulai mencurigai ada sesuatu yang tidak beres. Dugaan plasenta yang tidak berfungsi dengan baik, sampai kemungkinan bayinya sendiri yang bermasalah, mengharuskan sang dokter untuk merujukku melakukan pemeriksaan lebih lanjut di RSCM.
Hari itu aku pulang ke rumah masih dengan harapan yang besar, berharap bahwa bayiku akan baik-baik saja. Aku terus berdoa semoga Tuhan selalu memberikan kesehatan & perlindungan sempurna terhadap buah hati didalam perutku itu. Aku masih bisa tidur dengan nyenyak malam itu, sambil membesarkan hati, tenang saja, tidak akan ada apa-apa.
Rabu, 31 Mei 2006 Pagi-pagi sekali, aku dan suami berangkat dari rumah menuju RSCM. Sampai di RSCM hari masih cukup pagi, jarum jam baru menunjuk pukul 8:00 WIB, tapi ternyata aktivitas dirumah sakit ini sudah sangat padat. Mencari tempat parkirpun susah sekali.
Melihat pasien yang berjubel di ruang tunggu USG membuat hatiku seketika menciut, antrian yang banyak itu membuat hatiku mulai gundah. Aku masih berdoa semoga semua baik-baik saja, walau hatiku mulai gelisah tak keruan. Tidak sampai 10 menit kemudian, namaku pun dipanggil. Sambil mengucapkan syukur aku berjalan menuju ruang USG sendirian. Di dalam ruang USG, hatiku semakin berdebar, apalagi ketika melihat peralatan yang demikian banyak, aku takut menebak-nebak apa yang terjadi dengan bayiku. Seserius itukah sampai harus dikirim kemari? Di ruang tunggu tadi, cukup banyak ibu-ibu muda yang tampak bahagia, aku seorang sajakah yang akan menerima berita tidak enak? Aku mulai mengigil ketakutan. Ketika 2 orang bidan memasuki ruang USG itu, aku tampak semakin gugup, perasaan seperti itu belum pernah kualami, seolah aku akan menghadapi kematian saja. Setelah berbasa basi menanyakan siapa dokter yang merujukku, serta riwayat kehamilanku, ke 2 bidan itu kemudian mulai memainkan alat USGnya. Awalnya masih berjalan baik, jenis kelamin bayiku laki-laki diketahui. Entah kenapa aku bahkan saat itu tidak peduli dan tidak berminat lagi untuk mengetahui jenis kelamin bayiku, satu-satunya yang ingin aku ketahui hanyalah kesehatannya, ada apakah dengan bayiku? Normalkah, sehatkah?
Beberapa menit kemudian, ke 2 bidan itu tampak kebingungan, sambil berbisik-bisik mereka membicarakan sesuatu yang entah apa, tapi jelas ekspresi mereka membuatku takut. Tuhan...jeritku dalam hati. Entah apa yang mereka bicarakan tapi itu pasti hal yang buruk. Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya. Ada apa, kenapa? "Ada yang mencurigakan dijantung bayi ibu, tapi saya belum bisa memastikannya, tunggu sebentar ya?"ucap sang bidan sambil berlalu. Ya Tuhan, ada apa ini? Saat itu aku sangat ingin suamiku ada diruangan itu untuk memelukku, minimal memberiku kekuatan.
Bidan tadi kembali bersama 2 orang dokter. Ketika memeriksa perutku, keduanya tampak serius, sedangkan aku masih terus bertanya-tanya, kedua dokter itu pun berbisik-bisik menggunakan bahasa inggris, samar-samar aku menangkap pembicaraan mereka. Sangat tidak nyaman berada disituasi seperti itu. Aku mulai tidak sabar, "ada apa sebenarnya Dok?" tanyaku, mereka seperti tidak mendengarku, aku mulai kehilangan kesabaran, "Dok, tolong kasih tau saya, ada apa dengan bayi saya?" suaraku mulai bergetar. "Jantung bayi ibu tampak tidak normal, saya harus memastikan apakah ada kebocoran, karena paru-parunya tampak tidak berkembang". Shock, tentu saja, jantungku berdebar kencang, rasanya saat itu aku tidak lagi berada dibumi. "Anakku, bertahanlah demi mamamu ini, bisikku dalam hati. Tak terasa airmata telah membasahi pipiku.
Vonis dokter, bayiku mengalami kebocoran jantung kiri yang mengakibatkan aliran darahnya tidak terpompa dengan baik, jantungnya tampak membesar sebelah, sehingga menekan paru-parunya sedemikian rupa. Dengan kondisi seperti itu, kecil sekali kemungkinan bayiku akan selamat. Aku, saat itu entah kenapa masih saja berharap adanya keajaiban. Aku berharap alat USGnya salah, aku berharap dokter-dokter yang aku temui itu adalah dokter-dokter yang bodoh. Aku berharap semua yang aku dengar itu adalah bohong. Aku berharap saat itu aku tengah bermimpi.
Aku hampir tidak bisa lagi melangkah saat pemeriksaan selesai, airmata tidak lagi keluar, tapi aku merasa begitu kosong. Ketika menghampiri suamiku, dia langsung memelukku, sepertinya dia bisa membaca apa yang telah terjadi.
Saat itu, aku sangat kecewa pada dokterku, kenapa baru sekarang hal tersebut diketahui, bukankah setiap bulan aku selalu melakukan pemeriksaan rutin, tanpa seharipun aku lewati pemeriksaan, bahkan sejak mengetahui diriku hamil aku begitu rajin memeriksa diri. Perkembangannya dari bulan ke bulan selalu aku ikuti. Kenapa harus sekarang? Ketika semuanya telah aku persiapkan, bahkan 5 hari sebelumnya, aku telah membeli baju-baju sebagai persiapan final untuk menyambut kehadiran buah hati kedua kami itu. Dan sekarang aku harus tabah menghadapi semua ini setelah hampir 9 bulan dedek William diperut. Bisakah?
Pada hari yang sama, dengan rasa tidak puas kami diajak kakak sepupu suamiku mengunjungi dokter kandungan yang cukup terkenal, Prof. Dsog Gulardi. Disinilah, aku mulai menyadari bahwa bayiku, benar-benar dalam kondisi kritis, dan aku harus siap dengan segala kemungkinannya. Juga berbagai info kenapa hal seperti ini bisa terjadi. Diantaranya, bisa disebabkan karena diawal kehamilan aku mengalami stress berlebihan, atau sebab virus. Pandanganku terhadap Dsog Reza pun berubah, ternyata dengan kondisi seperti itu, memang pada trisemester akhir baru akan diketahuinya kejanggalan. Satu hal yang membuatku sangat tertekan, pilihan untuk mempertahankan bayiku dengan risiko melihatnya hidup menderita dengan segala kekurangannya itu, atau pilihan untuk melepaskannya begitu saja.
Kamis, 1 Juni 2006 Tanggal 31 Mei menjadi hari yang begitu panjang dan melelahkan, dan hari ini adalah hari yang menakutkan. Laporan dari RSCM baru akan kami serahkan ke Dsog Reza hari ini, beliau lah yang akan memutuskan, langkah apa yang harus kami lakukan selanjutnya. Aku masih meminum Folamil ketika akan berangkat menuju tempat praktek dr. Reza.
Keputusannya; aku diminta melakukan ceasar malam itu juga. Dengan penuh kebingungan aku menundanya. Entah kenapa aku berharap 1-2 hari atau bahkan sampai minggu ke 38 nanti, siapa tau jantung bayiku akan menutup sempurna, siapa tau beratnya akan bertambah banyak. Bukankah tidak ada yang mustahil bagi Dia? Sampai detik itu aku masih mengharapkan keajaiban. Aku belum sanggup kehilangan buah hati yang bahkan belum sempat kulahirkan.
Ya Tuhan, cobaan ini begitu berat. Aku tidak sanggup lagi berpikir. Bahkan ketika mamaku berkata untuk merelakannya, aku terhenyak, Aku menangis tersedu-sedu, dadaku menjadi begitu sesak. Aku ingin menutup telingaku, bahkan ketika orang-orang disekitarku bercerita tentang anak-anak yang lahir dengan kondisi jantung yang abnormal, membiru ketika menangis, atau bahkan biaya operasi yang melambung, hidup seperti apa yang akan dihadapi anakku jika harus lahir. Aku masih tidak bisa berpikir atau bahkan memilih apa yang harus aku lakukan. Kebahagiaan yang seharusnya menjadi simbol untuk menanti kehadiran buah hatiku keduaku ini, berganti duka yang menyayat.
Akhirnya aku memutuskan untuk melakukan ceasar pada tanggal 2. Menurut dokterku, bayiku tidak akan bertahan lebih lama didalam perut. Denyut jantungnya semakin melemah. Besar kemungkinan bayiku akan meninggal didalam. "Serahkan semuanya pada Tuhan" ungkapan merelakan yang pernah aku dengar ketika harus kehilangan Papa 3 tahun yang lalu.
Jum'at, 2 Juni 2006 William Anielo Stenlie in Memoriam Hari ini aku akan tau, apakah William bisa bertahan atau akan pergi meninggalkan kami yang menanti kehadirannya? Jam 5 pagi ketika melakukan pemeriksaan, bidan mulai kesulitan menemukan denyut jantungnya. Jam 7 pagi, denyut jantung William tidak bisa terdeteksi lagi. Dan anehnya ketika akan memasuki ruang operasi, aku seolah merasakan gerakannya. Menurut Bidan, itu kontraksi.
Diruang operasi, dokter mengkuatirkan tensi-ku yang terus melambung sampai angka 170, ketika operasi berjalan tengsiku semakin naik. Semua berharap aku tabah, tapi Aku berharap William baik-baik saja, aku terus bertanya..."Anakku masih hidup’kan Dok"! lewat pantulan lampu-lampu dimeja operasi aku melihat ketika dokter mengeluarkan William dari perutku, walaupun semuanya tampak samar-samar, tapi aku tau, anakku telah lahir, aku tidak mendengar suara tangisnya. Tapi setelah itu aku tidak tau apa-apa lagi.
Ketika bangun, aku telah berada diruang pemulihan. Aku dibius total karena dokter takut aku syok menerima kabar bahwa William telah meninggal ketika masih didalam perut, dan anehnya Dokter anak mengatakan, William telah meninggal setidaknya 2 hari. Padahal sesaat sebelum memasukin ruang operasi, aku masih merasakan gerakannya.
Sekarang, aku tau William telah kembali kepangkuan Bapa. Disana, William tidak akan sakit karena jantungnya yang bocor. William kecilku tidak akan kesepian, karena Bapa akan selalu menjaganya. William adalah malaikat kecil yang pernah menjadi bagian terindah dalam hidup kami.
We Love you. Mom, Dad & Koko
PS: Tuk semua temen blogger yang menjadi sahabatku didunia cyber ini, terima kasih atas support & doa kalian selama kehamilanku ini. Dengan penuh kerendahan hati, kami mohon doa-nya semoga William kecil kami bahagia dalam pelukanNya di Sorga. Terima kasih karena masih setia mengunjungi blogku ini.
Untuk Sobatku Rosy: Ros, thanks atas postinganmu, terima kasih juga karena telah mengingatkanku untuk meninggalkan kisah tentang buah hatiku "William" didunia maya ini. Terima kasih atas doanya.
Ros, aku juga turut berduka atas meninggalnya nenekmu, semoga Tuhan memberikan tempat yang layak disisiNya. Menerima amal kebaikannya & mengampunkan segala dosa kesalahannya. Amin |
posted by Liana @ 2:13 PM |
|
5 Comments: |
-
Turut berduka ya Sar... Semoga William mendapat tempat terbaik di sisiNya, dan keluarga yang ditinggalkan diberikan ketabahan.
-
sari... baru baca, turut berduka cita ya say... yang tabah ya..
-
-
Looking for information and found it at this great site... » »
-
|
|
<< Home |
|
|
|
Turut berduka ya Sar... Semoga William mendapat tempat terbaik di sisiNya, dan keluarga yang ditinggalkan diberikan ketabahan.