Mereka makan nasi, kita makan lauknya
Akhir-akhir ini ingatanku sering melayang ke rumah kecil milik Tante suamiku, Sebagai seorang Janda beranak 2, tentu tidak mudah hidup dikota besar seperti Jakarta ini. Dengan penghasilannya yang hanya Rp. 200.000,- sd Rp. 300.000,- per bulan, tergolong sangat kecil. Apalagi beliau juga harus menghidupi & membiayai sekolah kedua anaknya yang baru beranjak remaja.
Beberapa kali beliau pernah mengajakku untuk sekedar berkunjung ke rumahnya, Dan baru malam minggu kemarin aku bener-bener bisa datang. Itu pun karena kebetulan aku sekeluarga menginap di rumah Ci Lena (yang anaknya berulang tahun kemaren). Ci Lena membawakannya satu karung beras ukuran 20 kg, berikut satu kardus indomie. Dalam hati aku sempat bertanya-tanya, parahkah kehidupan mereka.
Rumah mereka terletak di antara gang-gang diantara jalanan yang cukup sempit. Rumahnya sangat kecil, dan agak gelap, satu-satunya lampu yang menyala hanya diruang tengah, dah itupun dihubungkan ke kamar tidur yang satu-satunya. Aku bingung apa tempat itu layak di sebut kamar tidur, karena menurutku lebih mirip gudang. Kasur tempat mereka biasa tidur sudah tidak berbentuk lagi, kapuk-kapuknya berhamburan di mana mana. Ada kulkas kecil karatan diruang tengahnya, tv ukuran 14 Inchi yang menurut mertuaku tidak berfungsi lagi, berikut seperangkat kursi yang sudah tidak layak diduduki, dengan sobekan disana sini tentunya. Khiume Asan (nama Te Suamiku itu) mempersilakan kami duduk. Aku mencoba duduk dikursi yang sudah reot itu, badanku menjadi miring-miring karena ada lobang besar ditengahnya, yang membuat setengah pantatku harus tenggelam karenanya. Sementara itu Nathan & Jojo asyik bercanda, mereka keliatan tidak terganggu dengan keadaan rumah yang berantakan dan sempit itu.
Selama berada dirumah Khiume Asan, pikiranku berkecamuk tidak karuan, aku sempat speechless beberapa saat. Seumur hidupku, sampai di usiaku yang ke 27 ini, aku belum pernah masuk ke rumah yang sedemikian rupa. Aku bener-bener shock. Kunjunganku ke rumah Khiume Asan membuka mataku, dan membuat hatiku terus bersyukur atas pemeliharaan Tuhan untuk kehidupan keluargaku. Meskipun aku terlahir di keluarga yang sederhana, kami tidak pernah kekurangan. Kebutuhanku & adek-adek terpenuhi dengan baik. Bahkan ketika beranjak remaja, kehidupan ekonomi keluarga kami boleh dibilang berkecukupan. Papa adalah sosok pekerja keras, yang ulet & pantang menyerah, tidak heran di usianya yang masih cukup muda saat itu, Papa telah menjadi panutan & teladan di kampungku.
Kembali ke cerita Khiume Asan, satu hal yang membuatku sangat salut padanya, selama aku mengenalnya belum pernah sekalipun keluar kata keluhan dari mulutnya, belum pernah pula dia meminta-minta, Walaupun kemiskinan menghimpitnya, beliau tetap bersahaja, Tuhan selalu dijadikannya sandaran. Disela pekerjaannya sebagai penjahit, beliau tetap aktif di Gereja. Sungguh luar biasa!
Selama perjalanan pulang ke rumah Ci Lena, aku lebih banyak diam. Dan suamiku sepertinya melihat perubahan sikapku itu. Dan Ci Lena sepertinya juga tau apa yang tengah aku pikirkan, kemudian berkata “Sar, kita memang perlu membantu Khiume, mungkin tidak banyak yang bisa kita berikan, tapi minimal apa yang kita berikan itu bisa meringankan sedikit bebannya!”. Memang itu yang aku pikirkan, ingin menyisihkan sedikit penghasilanku untuk mereka. Mungkin tidak banyak yang bisa aku berikan, tapi aku harus memulainya. “Mengasihi orang kekurangan, dan mulailah dari keluarga sendiri,”kata-kata ini pernah dilontarkan Erita, sahabatku yang saat ini tinggal jauh di negeri Paman Sam sana, kemurahan hatinya terhadap sesama memang patut diancungi jempol. Di usianya yang masih sangat muda, dia telah punya seorang anak asuh, yang masih dibiayainya sampai saat ini. Aku ingin mencontohnya!.
Satu lagi perkataan Ci Lena yang mengantung dipikiranku. “Sar, satu karung beras tadi hanya akan cukup sampai setengah bulan saja. Kalo kita lebih banyak makan sayur & lauknya, mereka justru sebaliknya.” Speechless again!
Kasihi yang kekurangan & bersyukurlah atas pemeliharaan Tuhan untuk kehidupan kita. Happy Weekend ya! |