Rentetan kejadian yang menimpa bangsa ini seolah tidak berujung. Gempa bumi dasyat & Tsunami akhir tahun 2004 lalu, masih membekas di ingatan kita. Disusul pula gempa bumi di Nias akhir maret 2005, juga bencana banjir yang kerap melanda di beberapa daerah di negara ini. Suatu bencana yang diluar kuasa manusia. Apakah semua itu adalah tegoran Tuhan terhadap kesombongan kita? Hanya Dia yang Maha tau.
Aku benar-benar sedih ketika membaca Koran minggu tadi tentang "Busung Lapar" yang melanda di NTB, tulisan itu ku temui dimana-mana. TV terus menayangkan berita yang membuat miris hati pemirsanya itu. Padahal baru saja kita dikejutkan dengan kejadian luar biasa "Polio" yang menghantui Sukabumi.
Bagaimana mungkin masih ada orang mati karena lapar, apalagi ditengah bangsa yang katanya negara "berkembang" ini. Bukankah negara ini negara agraris, yang kaya akan hasil buminya? Lalu di kemanakan semuanya itu? Afrika dulu sering menjadi sorotan karena busung lapar-nya (atau marasmus kwashiorkor), negara itu dikenal sangat miskin. Bukan rahasia umum lagi jika busung lapar bisa ditemui dimana-mana dinegeri tersebut. Tapi lihat sekarang, perlahan mereka mulai beranjak menuju kehidupan yang lebih baik. Masa’kah bangsa ini justru menuju keterpurukan? Jangan-jangan sebentar lagi, bangsa ini akan didata sebagai salah satu negara yang berada dibawah garis kemiskinan? Hiks.
Kemerosotan moral juga dialami bangsa ini. Rasa cinta kasih, kepedulian telah terengut oleh kesombongan. Teror bom kembali menghantui kita, padahal belum sembuh luka lama, sang teroris ingin membuat luka yang baru. Setiap hari email-email yang masuk ke inbox-ku hanya berisi pesan-pesan singkat untuk berhati-hati. Larangan untuk mengunjungi tempat-tempat umum, waspada terhadap mobil-mobil tertentu, yang kerap jadi pemberitaan saat ini. Beberapa kendaraan berplat nomer tertentu memang sedang dicurigai sebagai pembawa bom. Terus terang aja, sekarang aku jadi paranoid, jika bertemu dengan mobil-mobil seperti yang disebutkan, walaupun platnya berbeda. Pandangan mataku selalu menatap curiga. Jangan-jangan ini pelakunya! pikirku
Meledaknya bom yang tidak jauh dari lokasi rumahku, tentu saja menambah daftar kekuatiranku. Pamulang yang tadinya penuh kedamaian, harus dikejutkan oleh peristiwa bom karena perbuatan orang-orang biadap yang tidak punya otak. Orang-orang yang menurutku, tidak seharusnya berada dimuka bumi ini lagi. Seandainya cinta kasih masih ada di diri mereka, tentu tidak akan melakukan perbuatan seperti itu. Kuasa untuk mengambil nyawa manusia adalah hak otentik Tuhan. Apakah mereka merasa sebagai "Tuhan"?
Menipisnya rasa kepedulian terhadap sesama, terbukti pula ketika aku membaca berita tentang "Pemulung naik KRL bawa mayat anak karena tidak mampu sewa mobil Jenazah". Tragis sekali kisah hidupnya, mungkin ini hanya segelintir peristiwa memilukan yang kebetulan tercatat. Berikut kutipan kisahnya (sumber warta kota)!
Penumpang kereta rel listrik (KRL) jurusan Jakarta-Bogor pun geger Minggu (5/6). Sebab, mereka tahu bahwa seorang pemulung bernama Supriono (38 thn) tengah menggendong mayat anak, Khaerunisa (3 thn). Supriono akan memakamkan si kecil di Kampung Kramat, Bogor dengan menggunakan jasa KRL. Menurut Supriono, Khaerunisa sudah empat hari terserang muntaber. Dia sudah membawa Khaerunisa untuk berobat ke Puskesmas Kecamatan Setiabudi. "Saya hanya sekali bawa Khaerunisa ke puskesmas, saya tidak punya uang untuk membawanya lagi ke puskesmas, meski biaya hanya Rp 4.000,- saya hanya pemulung kardus, gelas dan botol plastik yang penghasilannya hanya Rp 10.000,- per hari". Ujar bapak 2 anak yang mengaku tinggal di kolong perlintasan rel KA di Cikini itu. Supriono hanya bisa berharap Khaerunisa sembuh dengan sendirinya. Selama sakit Khaerunisa terkadang masih mengikuti ayah dan kakaknya, Muriski Saleh (6 thn), untuk memulung kardus di Manggarai hingga Salemba, meski hanya terbaring digerobak ayahnya. Karena tidak kuasa melawan penyakitnya, akhirnya Khaerunisa menghembuskan nafas terakhirnya pada Minggu (5/6) pukul 07.00. Khaerunisa meninggal di depan sang ayah, dengan terbaring di dalam gerobak yang kotor itu, di sela-sela kardus yang bau.
Kisah diatas semakin membuka mata kita, betapa rasa kepedulian telah terkikis dari kita. Bagaimana mungkin RS masih meminta biaya pada orang tidak mampu seperti Supriono, yang hidupnya pun dari hasil mengais sampah. Seharusnya hal ini tidak perlu terjadi. Duhhh! Pemerintahku, bukalah mata dan telingamu. Lihat sekelilingmu! |